Thursday, April 16, 2009

lucky me, lucky you, to have me, to have you

Saya terkadang  geli sendiri ketika dalam perjalanan pulang, memiliki satu pemikiran tentang sesuatu, apapun itu, yang membuat saya berpikir, Kenapa saya bisa berpikir seperti itu ya? Heheheh. Kemudian saya menjadi semakin penasaran ketika saya, bersama seorang teman saya melakukan beberapa perbincangan kecil tentang hal-hal yang sebenarnya adalah hal yg sederhana namun dapat menimbulkan kerut di dahi atau timbulnya lesung di pipi karena tersenyum dengan berbagai analisis-analisis, alasan-alasan, dan komentar-komentar kecil yang dikemukakan dan diperdengarkan. Saya mulai melihat teman saya dan berpikir dalam hati:

Mereka memang tidak terlihat seperti manusia tipikal. Atau mereka terlihat seperti manusia tipikal yang menyukai hal-hal yang tidak tipikal. Menyukai segala sesuatu yang tidak disukai oleh sebagian orang, namun tetap memaklumi  sesuatu yang normal. Mereka kerapkali tenggelam dalam dunianya sendiri, namun mereka tahu, sadar, bahwa mereka juga tidak sendirian.  People see them as a person who probably, one of a kind, eccentric. But then I thought, aren’t we all? Secara tidak sadar. Unconscious. Unaware. You may see them as a person of great philosophical intellect or otherwise. But hey, actually maybe they’re not that smart, they just know how to look smart.   

Hmm. Memang menyenangkan rasanya ketika bertemu dan berbincang dengan orang-orang seperti itu. Melihat sisi-sisi dan lapisan-lapisan dalam yang mereka buat dalam pribadi mereka namun tidak mereka perlihatkan, yang kemudian dikenal dengan “personal space”.  They’re just common but innately unique. Paradox.

Mari berteman dengan orang-orang yang seperti itu.

Halah. Hahahahhaa.

Tuesday, April 7, 2009

family..FAME-ly? haha

" Family quarrels have a total bitterness unmatched by others. Yet it sometimes happens that they also have a kind of tang, a pleasantness beneath the unpleasantness, based on the tacit understanding that this is not for keeps; that any limb you climb out on will still be there later for you to climb back. " ~Mignon McLaughlin, The Neurotic's Notebook, 1960

kutipan itu membuat saya berpikir tentang hubungan antara persahabatan dan keluarga. sebagai introduction, saya ingin bercerita bahwa akhir-akhir ini saya menyukai pertemanan atau persahabatan yang lebih bersifat paradoks. caelah. maksud saya begini, terkadang untuk membina sebuah persahabatan sangat sulit. tapi, ada yang bilang, apanya yang sulit??
saya memiliki beberapa sahabat yang tidak terkesan seperti sahabat. they may care for you, yeah. tetapi terkadang kami sengaja menciptakan "tembok" atas dasar kami saling menghargai kekurangan kami. ya, kami tidak peduli dengan kekurangan kami masing-masing, yang penting ketika kami saling membutuhkan, kami akan selalu ada satu sama lain.

weakness.
terkadang saya begitu malu dengan kekurangan-kekurangan saya, tetapi mereka. mereka yg berikrar sebagai "sahabat" saya, begitu memandang remeh kekurangan-kekurangan itu, begitu mengerti, begitu tidak peduli. all i know is just..they know they should giving some "understanding", that's all. "dassar anak bandel", " atau "ya i know you too well darling" membuat saya semakin yakin, tidak perlu mengaku-ngaku bahwa pertemanan kami sudah seperti keluarga untuk bisa mengakui bahwa pertemanan ini memang tidak jauh berbeda seperti pertemanan yang memiliki hubungan darah.

mengingat persahabatan seperti itu saya semakin kesal karena saya sekarang dihadapkan dengan orang-orang yang berikrar bahwa mereka "keluarga" but gosh.... *sigh*.. saya sampai mentertawakan dalam hati, karena melihat mereka, i feel like we're just a strange little band of characters. laughing, but not loving. bahkan saya hanya mempelajari cara "defending".

mungkin mereka memiliki definisi yang berbeda tentang keluarga, entahlah.