Tuesday, April 19, 2011

My Second Book: TURIYA



Millo, mungkin dalam dunia nyata aku selalu menganggapmu Pinot Noir. Namun di
Absurd Paradiso, bukankah kita sepasang Cabernet Sauvignon dan Merlot? Cabernet is the new Pinot Noir. Dan King, dalam dunia nyata, akan selalu menjadi Cabernet. Sedangkan aku tidak akan pernah menjadi Merlot.

Kamu sebut ini apa? Bantu aku, Millo. Ketika kucoba menanggalkan sebuah rasa yang kian tumbuh ini, berkali-kali kamu justru semakin meyakinkanku. Marstonm menjadi kota yang begitu membosankan dan kamu tampak semakin menggoda. Absurd Paradiso berhasil menguasai mereka yang dilanda wabah penasaran.





Millo, Dwayne, King. Seorang pelukis mimpi, mahasiswi filsafat pecinta jendela dan pemilik perkebunan wine yang kerap menyimpan harapan. Sebuah hubungan persahabatan yang rumit di antara mereka telah terjalin dan harus dihadapkan pada sebuah kenyataan: cinta yang terselubung. Bukan salah siapa-siapa, bukan kemauan siapa-siapa. Keadaanlah yang memungkinkannya. Tapi siapa sangka, akibat dari perasaan-perasaan yang terus dipendam, telah lahir hubungan percintaan antara Dwayne dan Millo yang hanya bisa terjalin lewat dunia mimpi. Dan dari setiap pertemuan di dunia alam bawah sadar itu, sebuah lukisan diciptakan untuk menjadi bukti pengingat. Bahwa setiap mimpi harus direkam. Setiap kenangan harus diabadikan.

“Turiya” bercerita tentang sebuah penggalan perjalanan hidup, sebuah fase menyenangkan sekaligus menyedihkan yang harus dilewati oleh Millo, Dwayne, dan King bersama-sama. Membaca kisah ini, pada akhirnya akan menghadapkan kita pada sebuah pertanyaan sederhana, “Pernahkah kita mengalami kebahagiaan semu?”

*******


Ketika seseorang dilahirkan ke dunia dengan bakat tertentu, maka rasa syukur yang terbaik kepada Tuhannya adalah dengan mengembangkan bakat tersebut dengan sepenuh hati. Ketika membaca karya ini, saya kagum oleh bakat dan sentuhan artistik yang diberikan oleh ananda Maradilla. Saya baca, maka saya rasa.

- Nyoman Nuarta, seniman


Info terbaru: Turiya akan diperkenalkan pertama kali di Brightspot Market, tanggal 28 April - 1 Mei 2011 . Lokasi: Pasific Place, Jakarta. Akan dijual dengan jumlah yang sangat terbatas.

Thursday, April 14, 2011

In Memoriam: Rosihan Anwar




Seperti satu istilah yang kerapkali Rosihan tujukan kepada para anggota DPR dan elite politik: Golddiggers.


Bergelut dengan tugas akhir saya yang membahas tentang kebebasan pers, mau tidak mau membuat saya harus mempelajari dan mendalami lebih khusus lagi tentang hukum media dan penegakkannya. Kebebasan para jurnalis, apalagi di era media sosial yang semakin berjaya ini memang seperti pisau bermata dua: di satu sisi dapat menjadi kebenaran, tapi bisa juga menjadi "seolah-olah" kebenaran. Padahal, kalau kita melihat masa lalu, terkadang penegakkan kebenaran dapat menjadi sesuatu hal yang langka, karena seringkali harus dibungkam.

Harus diakui memang, dengan keterbatasan dan berbagai rintangan pada jamannya, para jurnalis senior, entah itu dari rezim orde lama, orde baru, atau bahkan rezim-rezim sebelumnya memiliki ketangguhan yang tidak dapat dibandingkan dengan jurnalis masa kini. Maka, ketika satu tokoh dari dunia jurnalisme telah pergi, siapa yang tidak kehilangan?

Rasa cinta saya terhadap Rosihan Anwar sebanding dengan Pramoedya Ananta Toer. Alasannya juga cukup sederhana, tulisan mereka selalu berhasil membuat saya tercekat, seperti berikut puisi karya Rosihan:

SAYA TIDAK MALU JADI ORANG INDONESIA

'Catatlah, Bung Karno menciptakan keamanan dan persatuan bangsa
Pak Harto menciptakan kemakmuran bangsa dan keluarganya
Habibie menciptakan demonstrasi
Gus Dur menciptakan partai kebangkitan bangsa
Megawati menciptakan kenaikan-kenaikan harga'

'Akan tetapi drakula-drakula Indonesia tetap perkasa
Beroperasi 24 jam, ya malam ya siang mencari korban
Sehingga sia-sialah aksi melawan korupsi membasmi drakula
Yang telah merasuki rongga dan jiwa aparat negara
Yang membuat media memberitakan
Akibat bisnis keluarga pejabat, Tutut-Tutut baru bermunculan.

'Aku orang terpasung dalam terungku kaum penjarah harta negara
Akan aneh bila berkata aku malu jadi orang Indonesia
Sorry ya, Aku tidak malu jadi orang Indonesia
Kuhibur diri dengan sajakku magnus opus karya sang Empu
Sajak pendek yang berbunyi:
Katakan beta
Manatah batas
Antar gila Dengan waras
Sorry ya, inilah puisiku melawan korupsi
Siapa takut?'


(Dibacakan pada acara Deklamasi Puisi di Gedung Da'wah Muhammadiyah di
Jakarta, 31 Desember 2004. Juga dibacakan dalam acara pertemuan
keluarga wartawan senior di rumah penulis pada tanggal 9 Januari 2005,
di Jakarta)


Bukan cuma terhadap karyanya, namun juga salah satu kekaguman saya terhadap Rosihan Anwar adalah mengenai kebiasaannya yang rajin memberi tanda berupa kartu-kartu kuning pada setiap buku yang ia baca, yang membuat beliau seperti ensiklopedia berjalan dan tahu persis siapa yang diceritakannya ketika ia membuat tulisan tentang obituary seseorang.

Dan seiring dengan berita duka Rosihan Anwar yang telah pergi, saya lantas membaca timeline Goenawan Mohamad yang membuat obituary tentang beliau. Dengan begitu, saya rasa, satu pertanyaannya ketika masa hidupnya telah terjawab. Rosihan Anwar, sang wartawan spesialis pembuat tulisan obituary, pernah bertanya,

“Kalau saya terbiasa membuat tulisan ‘In Memoriam’, nanti ketika saya meninggal, siapa ya yang buat?”

Pasti banyak Pak.

Selamat jalan Rosihan Anwar: jurnalis, sastrawan, budayawan, putra bangsa Indonesia. Namamu akan selalu dikenang.



(gambar saya ambil dari sini)