Sunday, February 14, 2010

the premature decision.

my brother once told me wisely, that sometimes, a good separation came from a silent trigger. you can see the symptoms. constant changes, hidden distraction (you name it, brah!). we had our long conversation about something that keeps running on our head, about decision and conclusion of our own life.
i appreciate our beautiful mind. for what i agree, i believe, that, a grown-up relationship will need an innermost contemplation, a something that could arrange your present love, while probably solitude will arrange itself (i said probably). sooo........talking about mine?
he was looking at me sadly. he knew. "go on sis, tell me" he said.

see the thing is, i have this difficulties to explain on why i should see that, this is not a failure, no, but more like force majeure. as a grown up relationship trying to be, this may be the most massive struggle we've ever done to really make it works. the dangerous phase where actually everything is fun but vaguely not fine, all covered up in a perfect beautiful package. we're not a coin who has a different side that complete each other, we're the same side. you can see another version of me in him. totally. we reach at a point when i finally realized that this is the war. the war that we don't made, this is the tragicomedy story that we can't see clearly. once again, (i hate to say this) this relationship stays in purgatory (purgatory, brah, ring a bell of something? dante alighiery?hehehe)


so blame me, for being the trigger. i had to. i refuse to fall into the same hole. shit happens but we're no longer in the kindergarten where kermit from sesame street taught us a simple and honest message, please step aside. see the different between childhood and adulthood.

you were right my brother, i have to take the premature decision.

Wednesday, February 3, 2010

curhat sebuah pena

Terima kasih sudah menjadikan saya sebuah pena yang siap menggambar secarik kertas kehidupan. Bergerilya dan berseluncur menorehkan tinta memang mengasyikkan, tapi terkadang saya tidak tahu bagaimana caranya untuk menghapus kesalahan-kesalahan yang seringkali saya buat. Hati saya terkadang sesak, ketika melihat tinta-tinta yang saya ciptakan mengembara entah kemana, berlari dari lintasan yang telah diciptakan oleh Dia. Sudah menjadi rahasia yang tidak lagi lagi menjadi rahasia, bahwa tangan halus itu hanya sesekali mendatangi saya. Sisanya kasar dan berjiwa eksperimental, tanpa perhitungan, pundak saya terbebani oleh akarnya yang menjalar liar, menancap di ujung tombak pena, meniup dan mengisi ulang tinta-tinta kebenaran dengan tinta yang entah terbuat dari apa. Tubuh saya berisi tinta oplosan. Kertas itu menjadi terkontaminasi, namun penuh warna. Terkadang menjadi indah, terkadang merusak sesuatu yang sudah seharusnya seperti itu adanya. Hati saya makin berdegup kencang, sudah cukup. Tintanya. Jangan tiup lagi. Nanti luber. Berantakan. Kertas kehidupan ini dikhawatirkan makin hancur hingga siap diremas dan dibuang ke tong sampah.

Tetapi.
Terima kasih kepada Dia yang telah menjadikan saya sebuah pena yang tidak sempurna. Memberikan saya kesempatan kedua berupa kertas kehidupan lainnya yang dapat saya beri warna. Suatu hari, akan saya usap air mata kekecewaan yang bercampur dengan kebahagiaan yang tidak kasat mata menetes di pipinya yang tidak berwujud: bahwa pena ini berantakan, namun sudah dewasa.

terinspirasi dari quote Mother Theresa:
"I am a little pencil in the hand of a writing God who is sending a love letter to the world. "

For you, God.