memanggilnya, tapi panggilan ini tidak digubris. ia membuat saya bungkam dengan sikapnya yang mengabaikan. kesal. saya bungkam. diam. tidak berkedip. tidak berkutik. saya pergi meninggalkannya dengan berdalih bahwa dia akan menunggu saya, ternyata dia pergi. marah. kecewa.
saya mencari cara untuk menemuinya, saya harus bertemu dengannya. maka saya berlari menuju sebuah persinggahan orang-orang yang ingin melakukan akad nikah. masjid itu. masjid sekaligus gedung serbaguna yang biasa digunakan untuk perhelatan resepsi.
dia seharusnya disana.
tapi tidak ada.
" mang, tim fotografer sudah datang? "
" belum neng."
baiklah. saya akan tunggu dia sampai jam dua pagi.
" mang, sudah datang? "
" belum neng "
cukup lama saya menunggu, berharap sebuah honda jazz memasuki pelataran parkir, bukan mobil bak. bukan mobil box, bukan gerobak, apalagi mobil polisi. hingga akhirnya saya memutuskan untuk pergi saja.
Ketika saya pergi, saya memutuskan untuk tidak membiarkannya larut dalam segala kekecewaannya. Secarik kertas berisikan penyesalan namun bukan permintaan maaf akhirnya lahir, dengan harapan secarik kertas ini setidaknya akan menjadi peredam emosi, bukan pemicu.
“ mas, tolong titip
“ iya neng”
“ makasih ya mang.punten, tolong sampein, penting.”
“ iya.”
No comments:
Post a Comment